Rabu, 11 April 2012

TEOLOGI CINTA KASIH


MEMBANGUN  TEOLOGI  DENGAN CINTA KASIH

 
A. Pengantar
Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya
Atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga
Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya
Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau menyebut nama-Nya

Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati
Karena sungguh memang Dia,  memang pantas disembah memang pantas dipuja

Demiikan  bait-bait lagu Dewa 19 yang diilhami oleh syait-syair  seorang sufi perempuan yang sangat masyhur, Rabiah Adawiyah. Syait-syair Rabiah memang selalu menggambarkan kehambaan dan ketulusan cinta yang amat mendalam kepada Tuhan. Ia tidak ingin ada satu pun yang menjadikan kehambaan dan ketulusan cintanya, terbelokkan oleh adanya tujuan lain, termasuk surga dan neraka Saking jengkelnya jika adanya surga dan neraka itu menjadikan tujuan penghambaan manusia berbelok, Rabiah pun bermaksud hendak "membakar surga dan menyiram api neraka".
Kesadaran kehambaan sesungguhnya akan memberikan sebuah penghayatan kehidupan bahwa dirinya tidak lebih hanya seorang yang harus tunduk kepada pemiliknya yang hakiki. Kesadaran kehambaan juga akan melahirkan ketulusan cinta kepada Kekasihnya yang sejati yaitu Tuhan. Kesadaran  kehambaan dan ketulusan cinta pada Tuhan pasti akan mewujud dalam ketulusan cinta diantara sesama manusia tanpa membedakan "baju-baju" yang menyekat satu orang dengan yang lain. Inilah sebenarnya misi suci yang hendak dibumikan oleh para pemimpin agama. Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang karena kesadaran kehambaan dan ketulusan cintanya kepada Tuhan sedemikian bersemangat untuk menebarkan kasih  kepada semua pihak  yang menentang Tuhan dan dirinya. Yesus dengan penuh kerelaan mengorbankan dirinya untuk menjadi Juru Selamat sebagai perwujudan kasih. Tentu demikian pula dengan tokoh agama yang lain.
Ya, kesadaran kehambaan dan ketulusan cinta.. Itulah kira-kira mutiara yang hilang dari dunia manusia sekarang ini. Bahkan dalam beragama sekalipun. Kita temukan di sana sini berbagai ":perang atas nama Tuhan, membunuh atas nama Tuhan," dan entah "atas nama Tuhan" yang lain apa lagi yang ingin ditegakkan. Kemudian, agama pun akhirnya berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Hamba Tuhan yang satu menjadi musuh bagi hamba Tuhan yang lain. Lantas dimanakah sebenarnya  Tuhan yang Rahman-Rahim itu, Tuhan yang Kasih itu.
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa kecuali hanya mengajak untuk membangun dan menemukan kembali mutiara yang hilang itu agar bisa membangun teologi beragama dengan cinta kasih.

B. Konflik dan Integrasi: Bagian  Integral Manusia
Coba kita perhatikan, berapa banyak konflik yang diakibatkan oleh semangat beragama yang menggebu-gebu. Banyak sekali nyawa melayang, darah tertumpah hanya karena ingin dikatakan "membela" Tuhan.  Tapi, juga kita temukan banyak sekali orang bverhasil dirukunkan juga oleh agama
Konflik dan integrasi adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan.   Keduanya dalam masyarakat  sesungguhnya berada dalam hubungan yang dialektis, bukan bertentangan. Keduanya sama-sama dibutuhkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari realitas  social yang sama. Hal ini berkaitan  dengan pencarian manusia akan pemenuhan hidupnya. Mungkin konflik sering dimaknai secara negative, akan tetapi sebenarnya, konflik bisa berfungsi negatif maupun positif atau dapat berfungsi sebagai factor integrative maupun disintegratif di dalam masyarakat tergantung bagaimana masyarakat itu menyikapinya.
Konflik sesungguhnya merupakan instrument yang niscaya dalam kehidupan. Konflik bersama dengan integrasi berada dalam hokum dialektika kehidupan. Jadi sebenarnya tidak perlu diresahkan. Yang penting adalah bagaimana menyikapi konflik itu. Bahkan,  ada pernyataan menarik dari Franklin Dukes (Resolving Public Conflict. Transforming Community and Governance. Manchester University Press, 1996, 164) bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, konflik merupakan basis untuk  perubahan social. Jika  hubungan yang adil ingin tercapai dan perubahan harus terjadi, maka konflik yang laten harus tampak dalam semua golongan. Dalam banyak situasi, konfrontasi inilah yang memaksa pengakuan akan saling ketergantungan yang membuat negosiasi menjadi mungkin.
Barangkali, salah satu sumber konflik dalam realitas social adalah agama. Baik secara normative yang memang lekat dengan nilai-nilai doctrinal yang memungkinkan menimbulkan konflik, maupun sebagai sebuah  fenomena social dengan dasar ikatan ideologis yang kuat, membuktikan kebenaran tesis itu.
Agama memang mempunyai nature nilai doctrinal yang pasti akan membela ke dalam. Imbasnya, para pemeluknya juga bisa dipastikan akan bersikap seperti itu. Jika semangat ini yang dikembnagkan, akan tetapi tanpa dibarengi dengan adanya kesadaran bahwa mereka hidup bersama dan menempati ruang yang sama sehingga perlu adanya semangat untuk membangun bersama, maka pasti yang terjadi adalah benturan. Pada saat seperti itu, agama akan menjelma menjadi monster yang menakutkan. Harus disadari bahwa agama pasti punya perbedaan yang tidak mungkin disatukan. Oleh karena itu, tak perlu ada gerakan untuk meleburkan banyak agama menjadi sebuah agama baru yang justru menghancurkan nilai-nilai khasnya.  Perbedaan itu, sampai kapanpun akan tetap ada karena memang masing-masing agama mempunyai titik pandang yang berbeda.
Ada dua hal pokok mengapa agama-agama pasti berbeda. Pertama,. ketakterbatasan Yang Ilahi. Agama sesungguhnya merupakan cara tangkap kepada Yang Ilahi melalui persepktifnya masing-masing. Agama adalah pengalaman “bersentuhan” dengan Yang Ilahi di dalam dan melalui realitas. Yang Ilahi adalah Yang Tak-terbatas. Sementara itu, realitas dunia ini adalah yang terbatas. Maka, adalah tidak mungkin Yang Ilahi ditangkap sepenuhnya oleh kenyataan dunia ini, juga oleh agama manapun. Itulah sebabnya,  agama mempunyai keunikan masing-masing, yang nampak dalam simbol yang digunakan untuk berhubungan dengan yang Ilahi tersebut. Adapun symbol sifatnya terbatas. Tidak ada symbol yang sepenuhnya mengungkapkan kenyataan Ilahi dan yang mampu mengatasi segalanya. Karena itu perlu  terbuka dan saling memperkaya. Agama pun sifatnya terbatas. Itulah sebabnya agama memerlukan korelasi  tidak saja dengan agama lain, tetapi juga dengan fakta-fakta yang ada di sekitarnya. Korelasi ini akan lebih memudahkan  agama-agama untuk memahami makna keIlahian Yang Ilahi dalam realitas.
Kedua, kebenaran yang inabsolute. Sesungguhnya masing-masing agama berhubungan dengan Yang Ilahi melalui caranya sendiri yang khas dan unik. Sebagai sebuah pengalaman keagamaan dari hasil interpretasi yang terbatas terhadap Yang Takterbatas, maka pengalaman keagamaan yang ada pasti bukanlah kebenaran pengalaman yang absolute Terdapat perbedaan antara kebenaran dengan ekspresi-ekspresi tentang kebenaran. Klaim kebenaran yang absolut  tidak pernah menjadi suatu kenyataan dalam ekspresi kontekstualnya. Justru  ketika terjadi klaim kebenaran absolute, maka meniscayakan penolakan terhadap kebenaran-kebanaran lain.
Sebagai entitas terbatas, manusia selalu menyatakan  kebenaran dengan keterbatasan-keterbatasannya. Dengan begitu bukan berarti apa yang dinyatakan itu tidak benar, dan oleh karenanya  tidak dapat dipertahankan, melainkan bahwa kebenaran  yang dialami dan dinyatakan, misalnya dalam agama, harus dideabsolutisasi. Kebenaran secara mendasar sangat  dipengaruhi oleh faktor-faktor  historis,  keterbatasan bahasa dan superstruktur social dan budaya.

C. Dialog: Jembatan Menjalin Kasih
Sudahlah, itu semua tidak penting. Biarkan masing-masing pemeluk mengkespresikan hubungan vertical dengan Tuhannya sesuia dengan apa yang diyakininya. Yang paling penting adalah membangun kebersamaan di atas perbedaan itu. Kesadaran untuk membuat ruang bersama yang indah dengan mengambil nilai-nilai cinta kasih antara sesame. Itulah yang paling penting.  Semua agama pasti mempunyai visi membangun kehidupan duniawi yang damai Saya tidak yakin ada agama yang tidak demikian. KArena itu Visi yang sma ini juga harus diterjemahkan menjadi misi bersama.
 Kata kunci  untuk menjawab pertanyaan itu, saya rasa adalah  kesadaran untuk lebih mengedepankan élan dasar agama yaitu kedamaian dan ketentraman.  Untuk kepentingan ini sangat diperlukan adanya ruang dialog antar umat beragama. Saya pernah mengusulkan di sebuah forum  di Universitas Parahyangan Bandung (bersama dengan Romo Ignatius Bambang Sugiharto)  mengenai apa yang saya sebut sebagai dialog humanistik etik yaitu sebuah pola dialog  untuk membangun ruang bersama yang bernama kemanusiaan dan etika yang saya yakin tidak ada agama apapun yang berbeda. Untuk mengokohkan dialog ini perlu adanya upaya untuk meluluhlantakkan hambatan psikologis yang dikotomis sifatnya yaitu "kawan-lawan", "kami-mereka", "ingroup-outgroup" dan sebaginya. Prasang-prasangka keagamaan yang selama ini membelit cara berpikir para pemeluk agama harus benar-benar dihancurkan. Secara serentak harus membangun kesadaran saling melengkapi. Untuk kepentingan ini beberapa waktu lalu,  penulis pernah menggagas  sebuah pertemuan tokoh lintas agama yang bertajuk "Agama Kebajikan: Agama Universal."  Pertemuan ini diarahkan untuk menemukan ruang bersama untuk bergerak bersama-sama dalam rangka menghilangkan hambatan-hambatan psikologis. Juga, mengadakan kegiatan  live in pemuda antariman sebagai realisasi untuk meniadakan sekat-sekat psikologis itu.

D.  Penutup
Tulisan ini hanya sebuah tawaran saja. Mari kita diskusikan dengan rendah hati  tanpa menghakimi, tanpa perasaan emosional yang meluap-luap sehingga kesadaran kritis kita menjadi terkikis.
Akhirnya hanya Allah Yang Maha Benar  dan Maha Mutlak dan semoga kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang berada di bawah naungan kebenaran dan kemutlakan-Nya. Amiin..
Astaghfirullah al-'Adzim. Wallahu a'lamu bi al-Shawab.