MEMBANGUN TEOLOGI DENGAN CINTA KASIH
A. Pengantar
Apakah kita
semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya
Atau mungkin
kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga
Jika surga
dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya
Jika surga
dan neraka tak pernah ada, masih kah kau menyebut nama-Nya
Bisakah kita
semua benar-benar sujud sepenuh hati
Karena
sungguh memang Dia, memang pantas
disembah memang pantas dipuja
Demiikan
bait-bait lagu Dewa 19 yang diilhami oleh syait-syair seorang sufi perempuan yang sangat masyhur,
Rabiah Adawiyah. Syait-syair Rabiah memang selalu menggambarkan kehambaan dan
ketulusan cinta yang amat mendalam kepada Tuhan. Ia tidak ingin ada satu pun
yang menjadikan kehambaan dan ketulusan cintanya, terbelokkan oleh adanya
tujuan lain, termasuk surga dan neraka Saking jengkelnya jika adanya surga dan
neraka itu menjadikan tujuan penghambaan manusia berbelok, Rabiah pun bermaksud
hendak "membakar surga dan menyiram api neraka".
Kesadaran kehambaan
sesungguhnya akan memberikan sebuah penghayatan kehidupan bahwa dirinya tidak
lebih hanya seorang yang harus tunduk kepada pemiliknya yang hakiki. Kesadaran
kehambaan juga akan melahirkan ketulusan cinta kepada Kekasihnya yang sejati
yaitu Tuhan. Kesadaran kehambaan dan
ketulusan cinta pada Tuhan pasti akan mewujud dalam ketulusan cinta diantara
sesama manusia tanpa membedakan "baju-baju" yang menyekat satu orang
dengan yang lain. Inilah sebenarnya misi suci yang hendak dibumikan oleh para
pemimpin agama. Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang karena kesadaran kehambaan dan
ketulusan cintanya kepada Tuhan sedemikian bersemangat untuk menebarkan
kasih kepada semua pihak yang menentang Tuhan dan dirinya. Yesus
dengan penuh kerelaan mengorbankan dirinya untuk menjadi Juru Selamat sebagai
perwujudan kasih. Tentu demikian pula dengan tokoh agama yang lain.
Ya, kesadaran kehambaan
dan ketulusan cinta.. Itulah kira-kira mutiara yang hilang dari dunia manusia
sekarang ini. Bahkan dalam beragama sekalipun. Kita temukan di sana sini berbagai
":perang atas nama Tuhan, membunuh atas nama Tuhan," dan entah
"atas nama Tuhan" yang lain apa lagi yang ingin ditegakkan. Kemudian,
agama pun akhirnya berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Hamba Tuhan
yang satu menjadi musuh bagi hamba Tuhan yang lain. Lantas dimanakah
sebenarnya Tuhan yang Rahman-Rahim itu,
Tuhan yang Kasih itu.
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa kecuali hanya mengajak untuk
membangun dan menemukan kembali mutiara yang hilang itu agar bisa membangun
teologi beragama dengan cinta kasih.
B.
Konflik dan Integrasi: Bagian Integral Manusia
Coba kita perhatikan, berapa banyak konflik yang diakibatkan oleh
semangat beragama yang menggebu-gebu. Banyak sekali nyawa melayang, darah
tertumpah hanya karena ingin dikatakan "membela" Tuhan. Tapi, juga kita temukan banyak sekali orang
bverhasil dirukunkan juga oleh agama
Konflik dan integrasi adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Keduanya dalam masyarakat sesungguhnya berada dalam hubungan yang
dialektis, bukan bertentangan. Keduanya sama-sama dibutuhkan. Keduanya
merupakan aspek-aspek dari realitas
social yang sama. Hal ini berkaitan
dengan pencarian manusia akan pemenuhan hidupnya. Mungkin konflik sering
dimaknai secara negative, akan tetapi sebenarnya, konflik bisa berfungsi
negatif maupun positif atau dapat berfungsi sebagai factor integrative maupun
disintegratif di dalam masyarakat tergantung bagaimana masyarakat itu
menyikapinya.
Konflik sesungguhnya
merupakan instrument yang niscaya dalam kehidupan. Konflik bersama dengan
integrasi berada dalam hokum dialektika kehidupan. Jadi sebenarnya tidak perlu
diresahkan. Yang penting adalah bagaimana menyikapi konflik itu. Bahkan, ada pernyataan menarik dari Franklin Dukes (Resolving Public Conflict. Transforming Community and Governance. Manchester
University Press, 1996, 164) bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, konflik merupakan basis untuk perubahan social. Jika hubungan yang adil ingin tercapai dan
perubahan harus terjadi, maka konflik yang laten harus tampak dalam semua golongan.
Dalam banyak situasi, konfrontasi inilah yang memaksa pengakuan akan saling
ketergantungan yang membuat negosiasi menjadi mungkin.
Barangkali, salah satu sumber konflik dalam realitas social adalah agama.
Baik secara normative yang memang lekat dengan nilai-nilai doctrinal yang
memungkinkan menimbulkan konflik, maupun sebagai sebuah fenomena social dengan dasar ikatan ideologis
yang kuat, membuktikan kebenaran tesis itu.
Agama memang mempunyai nature nilai doctrinal yang pasti akan membela ke
dalam. Imbasnya, para pemeluknya juga bisa dipastikan akan bersikap seperti
itu. Jika semangat ini yang dikembnagkan, akan tetapi tanpa dibarengi dengan
adanya kesadaran bahwa mereka hidup bersama dan menempati ruang yang sama
sehingga perlu adanya semangat untuk membangun bersama, maka pasti yang terjadi
adalah benturan. Pada saat seperti itu, agama akan menjelma menjadi monster
yang menakutkan. Harus disadari bahwa agama pasti punya perbedaan yang tidak
mungkin disatukan. Oleh karena itu, tak perlu ada gerakan untuk meleburkan
banyak agama menjadi sebuah agama baru yang justru menghancurkan nilai-nilai
khasnya. Perbedaan itu, sampai kapanpun
akan tetap ada karena memang masing-masing agama mempunyai titik pandang yang
berbeda.
Ada dua hal pokok mengapa agama-agama pasti berbeda.
Pertama,. ketakterbatasan Yang Ilahi. Agama sesungguhnya merupakan cara tangkap
kepada Yang Ilahi melalui persepktifnya masing-masing. Agama adalah pengalaman
“bersentuhan” dengan Yang Ilahi di dalam dan melalui realitas. Yang Ilahi
adalah Yang Tak-terbatas. Sementara itu, realitas dunia ini adalah yang terbatas.
Maka, adalah tidak mungkin Yang Ilahi ditangkap sepenuhnya oleh kenyataan dunia
ini, juga oleh agama manapun. Itulah sebabnya,
agama mempunyai keunikan masing-masing, yang nampak dalam simbol yang
digunakan untuk berhubungan dengan yang Ilahi tersebut. Adapun symbol sifatnya
terbatas. Tidak ada symbol yang sepenuhnya mengungkapkan kenyataan Ilahi dan
yang mampu mengatasi segalanya. Karena itu perlu terbuka dan saling memperkaya. Agama pun
sifatnya terbatas. Itulah sebabnya agama memerlukan korelasi tidak saja dengan agama lain, tetapi juga
dengan fakta-fakta yang ada di sekitarnya. Korelasi ini akan lebih
memudahkan agama-agama untuk memahami
makna keIlahian Yang Ilahi dalam realitas.
Kedua, kebenaran yang inabsolute.
Sesungguhnya masing-masing agama berhubungan dengan Yang Ilahi melalui caranya
sendiri yang khas dan unik. Sebagai sebuah pengalaman keagamaan dari hasil
interpretasi yang terbatas terhadap Yang Takterbatas, maka pengalaman keagamaan
yang ada pasti bukanlah kebenaran pengalaman yang absolute Terdapat perbedaan
antara kebenaran dengan ekspresi-ekspresi tentang kebenaran. Klaim kebenaran
yang absolut tidak pernah menjadi suatu
kenyataan dalam ekspresi kontekstualnya. Justru
ketika terjadi klaim kebenaran absolute, maka meniscayakan penolakan
terhadap kebenaran-kebanaran lain.
Sebagai entitas terbatas,
manusia selalu menyatakan kebenaran
dengan keterbatasan-keterbatasannya. Dengan begitu bukan berarti apa yang
dinyatakan itu tidak benar, dan oleh karenanya
tidak dapat dipertahankan, melainkan bahwa kebenaran yang dialami dan dinyatakan, misalnya dalam
agama, harus dideabsolutisasi. Kebenaran secara mendasar sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor historis,
keterbatasan bahasa dan superstruktur social dan budaya.
C.
Dialog: Jembatan Menjalin Kasih
Sudahlah, itu semua tidak penting. Biarkan masing-masing pemeluk
mengkespresikan hubungan vertical dengan Tuhannya sesuia dengan apa yang
diyakininya. Yang paling penting adalah membangun kebersamaan di atas perbedaan
itu. Kesadaran untuk membuat ruang bersama yang indah dengan mengambil
nilai-nilai cinta kasih antara sesame. Itulah yang paling penting. Semua agama pasti mempunyai visi membangun kehidupan duniawi yang damai
Saya tidak yakin ada agama yang tidak demikian. KArena itu Visi yang sma ini
juga harus diterjemahkan menjadi misi bersama.
Kata kunci untuk menjawab pertanyaan itu, saya rasa
adalah kesadaran untuk lebih
mengedepankan élan dasar agama yaitu kedamaian dan ketentraman. Untuk kepentingan ini sangat
diperlukan adanya ruang dialog antar umat beragama. Saya pernah mengusulkan di
sebuah forum di Universitas Parahyangan
Bandung (bersama dengan Romo Ignatius Bambang Sugiharto) mengenai apa yang saya sebut sebagai dialog
humanistik etik yaitu sebuah pola dialog
untuk membangun ruang bersama yang bernama kemanusiaan dan etika yang
saya yakin tidak ada agama apapun yang berbeda. Untuk mengokohkan dialog ini
perlu adanya upaya untuk meluluhlantakkan hambatan psikologis yang dikotomis
sifatnya yaitu "kawan-lawan", "kami-mereka", "ingroup-outgroup"
dan sebaginya. Prasang-prasangka keagamaan yang selama ini membelit cara
berpikir para pemeluk agama harus benar-benar dihancurkan. Secara serentak
harus membangun kesadaran saling melengkapi. Untuk
kepentingan ini beberapa waktu lalu, penulis pernah menggagas sebuah pertemuan tokoh lintas agama yang
bertajuk "Agama Kebajikan: Agama Universal." Pertemuan ini diarahkan untuk menemukan ruang
bersama untuk bergerak bersama-sama dalam rangka menghilangkan
hambatan-hambatan psikologis. Juga, mengadakan kegiatan live in pemuda antariman sebagai realisasi untuk meniadakan sekat-sekat psikologis itu.
D.
Penutup
Tulisan ini hanya sebuah
tawaran saja. Mari kita diskusikan dengan rendah hati tanpa menghakimi, tanpa perasaan emosional
yang meluap-luap sehingga kesadaran kritis kita menjadi terkikis.
Akhirnya hanya Allah Yang
Maha Benar dan Maha Mutlak dan semoga
kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang berada di bawah naungan
kebenaran dan kemutlakan-Nya. Amiin..
Astaghfirullah al-'Adzim.
Wallahu a'lamu bi al-Shawab.